PERGOLAKAN KAUM MUDA INDONESIA


PERGOLAKAN KAUM MUDA INDONESIA

Oleh : Muhammad Risman Pasigai

Dalam kehidupan masyarakat mahasiswa memang diposisikan sebagai agen pembaharuan bangsa, posisi itu bukan saja didasarkan pada visi intelektualisme, idealisme dan independensi yang melekat pada pundak mahasiswa, tetapi juga keterlibatan mahasiswa dalam menjawab persoalan yang dihadapi bangsa dan masyarakat. Keberhasilan mahasiswa mendobrak tanggul otoritarianisme Orde Baru di bawah Soeharto dan menetapkan sejumlah agenda reformasi total sebenarnya membuktikan tetap berperannya mahasiswa sebagai agen perubahan. Tetapi dimana letak kemacetannya?

Bila dicermati, keberhasilan mahasiswa membawa bangsa ke fase transisi demokrasi, yang dalam bahasa Anas Urbaningrum, sebagai pendobrakan yang paling otentik waktu, itu sebenarnya terjadi secara sporadis dan banyak dipicu oleh krisis ekonomi. Bukan didasarkan kepada hasil konsolidasi elemen-elemen gerakan mahasiswa. Memang sepanjang tahun 1990an cukup banyak pertemuan nasional mahasiswa tetapi selalu gagal menghasilkan platform gerakan yang mampu melahirkan rumusan strategi dan taktik gerakan; Mulai dari fase pendobrakan, proses pengawalan sampai kepada melestarikan perjuangannya. Masih eksisnya forum angkatan 66 adalah contohnya.

Kegagalan merumuskan visi gerakan mahasiswa sebelum 1998 karena begitu kuatnya otoritarianisme Orde Baru, melalui penerapan Normalisasi Kehidupan kampus (NKK.BKK) oleh Mendikbud Daud Jusuf sejak tahun 1987 dan meskipun diganti dengan Sistem Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), 1990, tetapi tetap bahwa segala aktivitas mahasiswa selalu dihantui oleh cengkraman otoritarianisme rezim Orde Baru dengan segala modus operandinya. Betapa tidak lembaga pembantu rektor III (kemahasiswaan) menjadi agen otoritarianisme Orba yang setiap saat melaporkan setiap aktivis gerakan politik mahasiswa dengan Kodim, Kodam dan Gubernur atau Walikota. Saya masih ingat pertemuan masional mahasiswa di Aceh tahun 1996 yang gagal karena intervensi aparat keamanan. Belum lagi mayoritas mahasiswa era Orde Baru yang kerap kali harus berhadapan dengan kelompok-kelompok kecil aktivis mahasiswa.

Meskipun era reformasi adalah kemenangan di pihak mahasiswa, namun penguasa transisi di bawah BJ Habibie tidak segera memerdekakan mahasiswa dari belenggu otoritarianisme. Mendikbud Juwono Sudarsono justru membiarkan mahasiswa mengatur dirinya sendiri dengan mengeluarkan SK 155/1998 yang menghapus SMPT dan membiarkan kepada masing-masing kampus untuk merumuskan sendiri kelembagaan mahasiswa. Kebijakan Juwono yang lepas tangan dengan runtuhnya etos mahasiswa sebagai kekuatan moral dan intelektual bangsa dan penjaga hati nurani rakyat (keep the people heart), mengingatkan penulis pada ditinggalkannya mahasiswa angkatan 1960an oleh ABRI yang telah menguasai negara dan memenjarakan mahasiswa di kampus dengan konsep depolitisasinya.Padahal puluhan temu mahasiswa sebelumnya menghasilkan ketegasan pemerintah untuk menfasilitasi untuk menyatukan friksi ideologis antar elemen mahasiswa terutama membenturkan antara elemen ekstra (HMI, PMII, GMKI, PMKRI, GMNI dll) dengan intra (SMPT, BEM). Dalam sejarah DEMA yang pernah berhasil menjadi sosok lembaga mahasiswa yang plural, ideologis dan demokratis dan dianggap sebagai miniatur demokrasi tahun 1970an.

Di banding dengan fenomena kelahiran BEM yang tanpa kejelasan visi dan kerangka ideologis. Hal ini nampak pada sebutan seperti Presiden, Gubernur dan Menteri-menteri mahasiswa yang mecerminkan euforia reformasi dan aktualitas gerakan BEM yang masih mengandalkan gerakan taktis; dari demonstrasi ke demonstrasi dan aksi-aksi berdasarkan issue-issue aktual bukan pada konsistensi visi reformasi yang dicanangkan pendahulunya. Bila dicermati semestinya, generasi BEM atau mahasiswa sekarang berada pada tahapan kedua; menjadi manager (pengawal) reformasi dan demokrasi.

Berbagai pembahasan tentang RUU Pemilu, RUU Inteligen, RUU TNI, dan berbagai produk hukum di lembaga legislatif semestinya tidak boleh terlepas sedikitpun dari kontrol dan konsepsi tandingan dari mahasiswa agar semangat UU itu berpihak pada rakyat. Realitas politik menunjukkan bahwa pembahasan dan keputusan di lembaga legislatif penuh dengan oportunisme dan kepentingan pribadi dan kekuasaan, bukan kepentingan rakyat dan masa depan bangsa. Demikian pula berbagai bentuk penyimpangan dan korupsi di lembaga pemerintahan pusat dan daerah atau lembaga-lembaga negara lainnya tidak hanya diartikulasikan dalam bentuk demonstrasi ke demonstrasi, tetapi harus diperjuangkan dengan berbagai strategi; misalnya mengungkapnya melalui penelitian, pembuktian, analisis fakta dan lainnya.

Mahasiswa sebagai unsur civil society (masyarakat sipil) yang independen dan rasional harus mencegah dan melawan penyimpangan kekuasaan (abuse of power) dengan cara-cara yang rasional, mempunyai dampak strategis dan tidak merugikan rakyat. Cukup banyak demo mahasiswa yang mengganggu aktivitas rakyat yang tengah diwakilinya. Setiap mahasiswa berdemo di HI Jakarta misalnya, maka mengakibatkan kemacetan yang lama dan masyarakat kurang respek dengan perjuangan mahasiswa.

Kondisi tersebut, menggambarkan betapa otoritarianisme negara Orde Baru betul-betul menghancurkan elan vital mahasiswa; rasionalitas, independensi, wacana intelektual dan kebersamaan dalam platform. Salah satu penyebab terjadinya krisis yang melanda mahasiswa karena otoritarianisme masih eksis dalam kehidupan kampus. Meskipun, mahasiswa selalu menawarkan revolusi pendidikan, reformasi, suksesi rektor yang demokratis dan melibatkan mahasiswa, tetapi perguruan tinggi atau universitas masih memakai sistem Orde Baru dalam pengambilan kebijakan kampus, pemilihan rektor dan pembelengguan terhadap mahasiswa. Apalagi sistem yang berlaku di banyak kampus swasta tidak ada bedanya dengan sistem monarki. Yayasan yang mengelola perguruan tinggi swasta bertindak laksana raja yang bebas mengatur dan mengangkat rektor dan dosen, dan mengabaikan aspirasi mahasiswa. Yayasan semestinya adalah lembaga publik yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan esensi pendidikan.

Akibatnya kampus tidak bisa berfungsi maksimal sebagai agen perubahan dan tempat lahirnya berbagai gagasan pembaharuan yang dibutuhkan jamannya. Kondisi ini membawa juga konsekuensi mandeknya peran perubahan (agent of changes) mahasiswa.

Disamping, mengusung agenda pembaharuan masyarakat dan bangsa terutama mencegah kembalinya otoritarianisme negara yang kini dipraktekkan oleh pemerintahan Megawati-Hamzah, misalnya menghadapkan aksi mahasiswa dengan masa pendukungnya yang berakibat bentrok dan luka-luka, maka mahasiswa harus mempraktekkan bagaimana model dan aktualisasi kehidupan demokratis dalam kehidupan kampus agar dapat dijadikan contoh bagi masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar