Oleh :MUHAMMAD RISMAN PASIGAI
Penerapan kebijaksanaan perekonomian Indonesia sampai sekarang masih didasarkan pada model pragmatis “mix system”, yang mengutamakan mekanisme “ortodoxi” dibanding “heterodox”, seperti tercermin pada “trickling down effect” yang berasas pada prinsip “growth to equity approach”, mendahulukan sasaran pertumbuhan baru keadilan, ternyata menghasilkan krisis dalam kehidupan berbangsa.
Model pembangunan seperti ini tak cukup membuat fundamental ekonomi nasional kuat.Terbukti “tom yum effect” (sebutan untuk krisis keuangan Thailand) pada tahun 1997 mengalami “contagion effect” (dampak menular) dan sebagai mula krisis moneter kawasan, khususnya Asia Tenggara. Fundamental ekonomi nasional yang diyakini mampu menahan dampak menular krisis tersebut, ternyata turut ambruk, karena pada saat itu Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan tahun anggaran 196/1997 sekitar 3,3% produk domestic bruto (PDB). Melebihi batas aman deficit yang direkomendasikan IMF, yaitu sebesar 2% (Didik Rachbini, Suwidi Tono, dkk, 2000;83). Indikator ekonomi lainnya yang mempengaruhi krisis meneter Indonesia ialah laju inflansi dan arus modal luar negeri yang masuk diatas nilai deficit tadi.
Strategi pembangunan seharusnya dilihat sebagi krisis multi dimensi yang mencakup bukan hanya ekonomi, melainkan juga mencakup, diantarnya aspek perubahan dalam struktur sosial, politik, prilaku maupun struktur kelembagaan masyarakat. Khusus dalan perspektif ekonomi pemerintah semestinya menerapkan dan memberdayakan system ekonomi yang “pelaku-pelaku ekonominya mengambil keputusan-keputusan ekonomi berdasarkan pola pengambilan keputusan yang desentralistik dan mandiri”.
Hal tersebut diatas penting untuk dilakukan guna penangan krisis dan keluar dari krisis yang juga merupakan salah satu pilihan untuk recovery economi (pemulihan ekonomi) nasional. Beruntung bangsa Indonesia dapat dengan cepat merestrukturisasi penerapan sistem bernegaranya dalam bentuk “otonomi” daerah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun. 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang hari ini telah dilakukan amandemen , dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Namun demikian pelaksanaan undang-undang ini terlihat setengah hati, inkonsisten, dan beberapa daerah seakan-akan merasa dirugikan, beberapa daerah masih memiliki ketergantungan yang luar biasa pada pemerintah pusat, dan hamper semuanya problem penerapan daerah adalah pada persoalan otoritasi moneter dan otoritasi fiscal. Dengan adanya undang-undang tersebut seharusnya telah terjadi desntralisasi fiscal. Namun sekali lagi pemrintah masih setengah hati untuk memberikan desentralisasi tersebut dan daerah-daerah sendiri pun terlihat manja karena tak mampu keluar dari kebiasaan system yang selama ini mereka jalankan dan sebagian diantaranya karena ketidak-mampuan daerah, baik dalam hal sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) untuk melaksanakan otonomi daerah.
Tetapi untuk desentralisasi moneter daerah belum bisa untuk mengeluarkan kebijakan moneter, dikarenakan otoritas moneter hanya ada pada Bank Indonesia dan Departemen Keuangan sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 13 Th. 1968, yaitu Bank Indonesia adalah Lembaga Negara yang bertugas melaksanakan kebijakan moneter dan keberadaannya dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Harus juga diingat dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 tahun 1999, pemerintah pusat tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk melakukan kebijakan atau politik baik dalam bentuk fiscal dan moneter.
Olehnya dalam makalah ini, akan banyak dibahas tentang kebijakan fiscal dan desentralisasi fiscal dibanding dengan kebijakan moneter. Kebijakan moneter hanya dibahas secara garis besar. Sisi lainnya makalah ini pun turut mengkaji sejauh mana peranan kebijakan moneter dan kebijakan fiscal pada pelaksanaan otonomi daerah yang akan dapat dilihat pada realitas Indonesia hari ini dan berbagai implikasi yang timbul akibat otonomi daerah tersebut.
Pengertian dan Konsep
Untuk dapat lebih memahami makalah ini, maka perlu kita untuk mengetahui sedikit tentang pengertian dan konsep tentang hal-hal yang berkaitan dengan makalah, yakni kebijkan moneter, kebijakan fiscal, dan otonomi daerah itu sendiri. Kebijakan moneter dan kebijakan fiscal merupakan suatu kebijakan yang mengatur persoalan keuangan negara, moneter, produksi, eksport, import, pajak, dan persoalan pembiayaan pembangunan. Kebijakan moneter adalah “sebagai politik atau kebijaksanaan pemerintah (melalui Bank Sentral) untuk mengawasi jumlah uang beredar (supply of money) dalam mendorong, memelihara dan menciptakan serta mempertahankan :
1. tingkat kegiatan ekonomi yang tinggi
2. perluasan kesempatan kerja, dan
3. tingkat harga-harga yang stabil
Intrumen-instrumen kebijakan moneter meliputi :
1. Politik diskonto dan tingkat suku bunga
2. Politik pasar terbuka (open arket operation)
3. Politik cadangan minimum (reserve requirement policy)
4. Pengawasan pinjaman secara selektif (selective credit control)
5. Pembujukan moral atau moral suasin.
Kebijakan pada nomor 1, 2, dan 3 termasuk kebijakan “quantitave credit control”, sedangkan kebijakan pada point 4 dan 5 termasuk kebijakan “qualitative kredit control” (Syamsuddin Jafar Drs. Ek, 1993;1).
Sedangkan kebijakan fiscal ialah kebijakan pemerintah yang dalam hal ini Departemen Keuangan untuk membuat dan melaksanakan deregulasi untuk menarik pendapatan negara dan mengefisenkan pembiayaan penyelenggaraan negara. Pendapat Negara tentunya dari produksi dalam negeri dan pajak sementara pengeluaran adalah belanja rutin negara, biaya import, pembiayaan proyek-proyek pembangunan dan sebagainya.
Sementara otonomi daerah adalah pendelegasian kewenangan penyelenggaran pemerintahan kepada pemerintah kota dan pemerintah kabupaten. Otonomi daerah merupakan suatu system desentralisasi kebijakan pemerintah yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat kini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah.
Dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan daerah menjadi semakin luas untuk mengatur seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan fiscal, agama, serta kewenangan dalam bidang lain. Menjadi catatan yang akan menjadi persoalan bagi pelaksanaan undang-undang ini adalah pada implikasi penerapannya yang sangat mungkin akan bertentangan dengan kebijakan moneter dan kebijakan fiscal dari pemerintah pusat serta kebijakan lainnya yang mungkin terjadi ketidak-sesuaian antara keinginan pemerintah pusat dan pemrintah daerah. Daam hal ini butuh kearifan dari masing-masingnya agar rakyat tidak lagi menjadi korban.
Realitas Indonesia Hari ini, Evaluasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal dalam Hubungannya dengan Otonomi Daerah
Sebagai gambaran besar, keadaan yang kita hadapi pada dasarnya adalah Indonesia belum sepenuhnya keluar dari krisis. Meskipun beberapa sector kegiatan ekonomi mulai tampak bergerak maju, namun belum sepenuhnya pulih pada kondisi semuyla. Bersamaan dengan itu globalisasi sudah menerpa Indonesia dari segal sisi, khususnya, ekonomi dan politik. Belum tuntasnya penerapan dan penetaan daerah lewat otonomi daerah membuat beban kita semakin berat. Tiga sector utama, yaitu pemerintah, bisnis, dan nir-laba belum mempunyai kecukupan kompetensi mengahadapi tantangan ini.
Sebagai akibatnya banyak sector produksi yang collaps karena ketidakmampuan mereka secara financial menghadapi hal tersebut. Arus masuk modal luar negeri lewat lembaga-lembaga donor ataupun bank dunia malah menambah beban pada proses kelanjutannya karena fluktuasi atau instabilnya kurs rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dollar USA. Bank Indonesia dan Departemen Keuangan Republik Indonesia sebagi otoritas moneter dan otoritas fiscal masih tarsus mencari formula terbaik untuk menstabilkan nilai rupiah.
Belum lagi hutang jatuh tempo pada produksi swasta membuat neraca pembayaran internasional membengkak. Hutang tersebut harus ditalangi negara, karena akan semakin menambah krisis bila hal itu tidak dilakukan. Krisis yang dimaksud adalah semakin besarnya tingkat pengangguran ang dapat menimbulkan patologi sosial apabila dibiarkan. Sector nir-laba yang diwakili oleh lembaga non-pemerintah pun belu memahami peran barunya sebagi sebuah lembaga yang menghidupkan keberdayaan masyarakat, bahkan mencari dan mencuri kesempatan untuk mengambil untuk dalam setiap persoalan yang dialami oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Pada kondisi yang demikian, maka sector usaha yang mampu bertahan dan masih memberikan pendapatan pada Negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN merupakan satu-satunya pelaku ekonomi yang tersisa, selain sector usaha kecil.
Kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonenesia dengan melakukan kebijakan uang ketat (thigt money rate) dan penerapan nilai tukar mengambang (floating exchange rate) , tidak dapat membendung spekulasi terhadap rupiah dan tidak dapat mengerem kepanikan masyarakat untuk melepas rupiah sebagai upaya untuk mengamankan kekayaan. Keadaan demikian menunjukkan rupiah tidak lagi dipercaya oleh masyarakat luas, dunia usaha, dan mitra usaha luar negeri, sehingga nilainya berfluktuasi tidak pasti. Bank run pun terjadi dan pelarian arus modal keluar tak dapat dihindari. Akhirnya sector moneter bersama-sama sector ekonomi yang lainnya rusak berat, karena sector produktif riil, beragam perusahaan, dan institusi perbankan sendiri gagal melaksanakan fungsinya.
Pada sisi fiscal, penarikan pajak menjadi beban yang harus ditanggung oleh rakyat akibat gempa moneter tersebut. Pajak seakan-akan menjadi pilihan terakhir dari berbagai alternatif yang ada untuk membiayai Negara dan sejumlah hutang luar negeri yang harus dibayarnya. Akibatnya konsumsi domestic menurun drastis dan laju inflansi semakin tak terkendali. Dalam hal ini pemerintah seakan ragu-ragu dan bingung bagaimana menghadapi krisis moneter.
Dari fenomena ini, kemudian pemerintah lewat Bank Indonesia dan Depertemen Keuangan mengelaurkan kebijakan ekonomi pada tiga masalah utama, yaitru :
1. meredam laju inflansi sekaligus dan sekaligus tercapainya nilai tukar pada tongkat ang wajar
2. memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sekaligus merestrukturisasi bank yang tak sehat.
3. menanggulangi dampak negative krisis terhadap golongan ekonomi lemah.
Namun demikian rakyat tetap menjadi korban untuk setiap biaya kerusakan dari kegagalan mengantisipasi gempa moneter yang luar biasa, hampir terasa diseluruh dunia.
Lantas, apa hubungannya kebijakan moneter dan fiscal yang dilakukan pemerintah untuk penanganan krisis pada pekasanaan otonomi daerah. Sesungguhnya krisis moneter inilah yang sangat mempengaruhi penerapan UU No. 22 Th 1999 dan UU No. 25 Th. 1999. Secara psikologi dan ekonomi daerah mengalami kesulitan untuk pembiayaan daerahnya. Tak lain karena derah, belum mapan dalam hal pembiayaan pembangunan daerahnya dan manajemen pemerintahan daerah yang baru. Pemerintah di daerah mengalami keterkejutan sehingga gagap untuk melaksanakan undang-undang ini.
Sebagaimana yang kita tahu dalam UU No. 25 Th. 1999 tentang Pereimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pada pasal 3, yaitu sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah sebagai berikut :
1. Pendapatan Asli Daerah
2. Dana Perimbangan
3. Pinjaman Daerah
4. Lain-lain Penerimaan yang Sah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) berasal dari pajak dan retribusi daerah. Undang-undang ini mendapat energi dengan dikeluarkannya UU No. 24 Tahun 2000 tentang undang-undang pajak dan retribusi daerah. Hanya dalam tempo ynag relative singkat, pelaksanaan undang-undang ini telah meningkatkan pendapatan asli daerah. Namun sangat disayangkan, karena pemerintah daerah seakan-akan mengandalkan sector ini sebagai upaya untuk membiayai pembangunan daerahnya. Keadaan demikian membuat rakyat semakin dijerat oleh krisis. Krisis moneter saja cukup membuat rakyat teriak kelaparan, terlebih lagi dengan pungutan pajak yang luar biasa yang membuat mereka semakin kurang untuk mengkonsumsi.
Benar pajak berhasil menaikkan pendapatan asli daerah, tetapi sisi lainnya adalah produk domestic bruto menjadi menurun karena ketidak-mampuan rakyat untuk membeli beberapa hasil produksi dalam negeri. Sektor riil menjadi tak produktif dikarenakan cost produksi yang tidak tertutupi dari penjualan mereka, sementara produksi, biaya upah karyawan, dan biaya lainnya terus berjalan memakan habis modal. Tak heran jika sekiranya banyak sector riil yang terpaksa harus tutup atau menyatakan dirinya bangkrut akibat kurangnya penjualan dan habisnya modal pembiayaan pembiayaan produksi mereka.
Pada Dana Perimbangan, antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah sering kita dapati keributan pada seberapa besar daerah mendapat Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Ada sebagian daerah yang merasa diper;lakukan tidak adil dan sebaginya. Semestinya hyang harus disadari adalah Indonesia adalah Negara Kesatuan yang secara geographis adalah kepulauan dan adanya perbedaan pada kekayaan alam masing-masing daerahnya, sehingga kebijakan yang muncul adalah adanya subsidi dari pemerintah pusat kepada daerah yang belum mampu mandiri untuk membiayai pembangunannya.
Tentunya subsidi ini pun berasal dari daerah-daerah yang kaya yang pembagiannya ditentukan dengan dana perimbangan. Seandainya ini dipahami oleh daerah, maka yang terjadi adalah gotong royong pembangunan lintas daerah. Tetapi sayang dana subsidi ini pun terkadang disalah gunakan dapat dilihat dari lambatnya keluar DAU dan DAK yang harus diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.Ada gambaran dana tersebut digunakan terlebih dahulu oleh Pemerintah Pusat atau oknum untuk pembiayaan Negara atau pribadi oknum tersebut. Seharusnya ini tidak terjadi jika UU No. 28 Th. 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dapat seiring dengan pelaksnaan UU No. 22 Th 1999 dan UU No. 25 Th. 1999.
Kemudian untuk dana pinjaman daerah adalah pinjaman dana yang dilakukan oleh pemerintah daerah ke pusat dan hasil usaha daerah adalah sesuatu yang menjadi wewenang daerah untuk melakukannya jika dibutuhkan guna menunjang peningkatan pendapatan daerah.
Dari deskripsi diatas tergambar bahwa kebijakan moneter dan kebijakan fiscal yang dilakukan pemerintah pusat memberi implikasi yang luar biasa pada proses penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunannya. Dalam hal ini rakyat didaerah semakin mengalami kondisi tidak menentu terhadap krisis dan semakin parah karena kebijakan fiscal daerah dalam penarikan pajak menjadi sesuatu yang sangat memberatkan, dikarenakan rakyat hari ini tak mempunyai kemampuan untuk berproduksi. Kebijakan moneter dan kebijakan fiscal tidak memberikan stimulant rakyat untuk berproduksi. Tetapi hal itu hanya dirasakan oleh sekelompok orang yang dalam hal ini pengusaha yang mempunyai kemampuan ekonomi yang justeru hutangnya harus dibayar oleh rakyat.
Renungan Baru untuk Desentralisasi
Fenomena penerapan otonomi daerah ini diatas adalah sangat mengkhawatirkan. Semangat otonomi daerah sebagai bagian dari tuntutan reformasi ternyata menimbulkan begitu banyak persoalan yang praktis berlangsung tanpa garis yang jelas tentang apa langkah strategis yang akan ditempuh. Pelaksanaan undang-undang otonomi daerah sama sekali tidak membantu mengurangi gejolak dan bahkan sikap tegas menetang pemerintah pusat yang ditunjukkan oleh aktivitas didaerah yang sungguh menimbulkan pertanyaan sederhana. Apakah center didalam tatanan Negara masih berfungsi. Keadaan demikian digambarkan menarik oleh Dr. Syahrir, Ketua Perhimpunan Indonesia Baru (sekarang Partai Indonesia Baru) adalah sebagai seorang anak yang kenakalannya terus meningkat, karena dia tidak mendapatkan reaksi apa pun dari si orang tua. Tetapi daerah dalam hal ini tidak dikatakannya sebagai anak atau pun sebagai orang tua, karena inti persoalannya adalah ground rules.
Sesungguhnya desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan public yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan public yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untk melakukan pembelanjaan, memungut pajak, terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala daerah yang dipilih oleh rakyat, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemrintah Pusat.
Dorongan desntralisasi yang terjadi diberbagai Negara berkembang mesti mnejadi cermin. Dorongan desentralisasi tersebut dipengaruhi oleh beberapa factor, misalnya latar belakang atau pengalaman suatu negar, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi dibeberapa Negara, dan banyaknya kegagalan yang dialami pemerintah sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif.
Desntralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiscal, politik, perubahan administrasi dan system pemerintahan dan system pembangunan sosial dan ekonomi. Tetapi secara umum, konsep desentralisasi meliputi desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, desentralisasi fdan desentralisasi ekonomi. Desentralisasi moneter tidak bisa didesntralisasikan karena menyangkut secara keseluruhan keuangan Negara yang berhubungan antar Negara sehingga yang memliki kewenagan moneter adalah pemrintah pusat yang dalam hal ini Bank Indonesia.
Kebijakan fiscal adalah sesuatu harus didesentralisasikan, karena ia merupakan komponen utama dari desentralisasi dan termuat dalam pasal 18 UUD 1945. Apabila pemerintah daerah melakukan fungsinya secara efektif dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan disektor public, maka harus didukung oleh sumber-sumber keuanganyang memadai baik berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak dengan pemerintah pusat, pinjaman, maupun subsidi dari pemerintah pusat. Sebagai renungan untuk kita semua adalah amanah pada ayat 1 point terakhir dari pasal 18 UUD 1945 dikatakan bahwa “hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilaksanakan secara adil dan selaras berdasrkan undang-undang.
Sebagai akhir dari tulisan ini adalah kebijakan moneter dan kebijakan fiscal yang dilakukan pemerintah belum mengangkat Indonesia keluar dari krisis moneter. Tetapi justeru menimbulkan produksi dan konsumsi rakyat menjadi menurun akibat penarikan pajak yang dilakukan oleh pemerintah tidak menggunakan criteria sebagaimana yang diberikan dalam UU No. 34 tahun 2000. Kompetensi Pemerintah daerah untuk memanfaatkan kebijakan moneter dan kebijakn fiscal pemetintah pusat kurang mampu diterjemahkan karena pemerintah daerah poor management. Pemerintah daerah menjadi manja dan terus berharap pada dana perimbangan, pinjaman, dan subsidi yang diberikan oleh pemerintah pusat. Sebagai suatu saran pemerintah pusat harus konsisten melaksnakan undang-undang otonomi daerah dan tegas dalam pelaksanaan undang- undang penyelenggraan Negara yang bersih dan bebas KKN. Pelaksanaannya harus seiring, karena Undang-undang No. 28 Th 1999 merupakan pengawal Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 TAhun 1999. Dan sebuah harapan besar dari kita semua bahwa dalam pemerintahan SBY – KALLA mampu untuk lebih jauh melakukan pembenahan secara mendasar terhadap fundamental ekonomi nasional dengan realitas hari ini yang masih sangat jauh dari harapan masyarakat indonesi dengan melakukan evaluasi kritis terhadap kebijakan – kebijakan di bidang ekonomi ( Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana program Ilmu Politik konsentrasi Ekonomi Politik Universitas Nasional Jakarta & Fungsionaris PB HMI periode 2003 - 2005)
PERANAN KEBIJAKAN MONETER DAN FISKAL DALAM MENGHADAPI ERA OTONOMI DAERAH
Diposting oleh
cimmankaspirasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar