Jakarta, 19 Sept 2009, pukul 15.45 wib --- Ada perasaan masygul ketika menyadari Lebaran sudah di depan mata. Hhhh... Hari Kemenangan itu akan datang hanya dalam hitungan beberapa jam ke depan.
Sejujurnya saya akui, situasi batiniah saya saat ini sangat tidak tenang. Sebabnya tidak lain karena saya merasa neraca kebaikan saya selama ramadhan sangat buruk. Jika menggunakan skoring nilai 1 sampai 10, saya kira poin yang saya peroleh maksimal hanya nol koma. Posisi ini menunjukkan bahwa secara kualitatif saya gagal memanfaatkan puasa sebagai momentum untuk berbenah diri, saya gagal untuk menyulap puasa menjadi semacam anak tangga untuk naik ke level spiritual berikutnya. Alih-alih dapat mencapai derajat ketakwaan sebagaimana difirmankan Allah dalam al-Qur'an, atau memperoleh laylatul qadar, untuk menjadikan puasa lebih dari sekadar menahan diri dari lapar dan dahaga saja tampaknya saya tak mampu. Betapa bodohnya dan meruginya saya! Padahal saya masih ingat betul firman Allah dalam sebuah hadits qudsi yang mengatakan: "Semua amaliah anak Adam untuk diri mereka, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan menentukan ganjarannya." Firman ini sangat jelas mengisyaratkan puasa sebagai ibadah manusia yang istimewa di sisi Allah SWT. Sedemikian istimewanya sampai-sampai Allah menegaskan bahwa puasa untuk diri-Nya dan Dia sendiri yang menentukan ganjarannya.
Keistimewaan puasa di antaranya memang disebabkan oleh sifatnya yang amat mempribadi alias sangat privat bagi manusia yang menjalankannya. Karena sifatnya demikian maka kualitas dan sampai seberapa dalam seseorang mampu menyelami samudra hikmah puasa hanya Allah SWT saja yang mengetahuinya. Lantaran sifatnya yang amat sangat privat, puasa juga menjadi satu-satunya ibadah (mungkin) yang secara langsung menjadikan diri manusia --zohir dan bathinnya-- sebagai "zona pertempuran yang hebat namun hening" antara hati manusia yang cenderung hanief (ganderung kepada kebenaran) dengan hawa nafsu yang menyesatkan: Hati yang hanief membimbing lidah orang yang berpuasa agar tidak berkata bohong dan lebih banyak berzikir, namun hawa nafsu justru membujuk lidah agar terus berkata dusta dan mengumpat; Hati yang hanief menutup telinga orang yang berpuasa dari mendengar pembicaraan yang sia-sia, namun hawa nafsu justru membuka telinga agar nikmat mendengarkan pembicaraan sia-sia orang-orang fasik; Hati yang hanief memalingkan mata orang yang berpuasa dari pandangan yang tidak ma'ruf, namun hawa nafsu justru membelalakkan mata kepada pemandangan-pemandangan yang munkar; Hati yang hanief membimbing akal orang yang berpuasa agar selalu memikirkan ciptaan Allah dan memuji Dzat Allah, namun hawa nafsu justru mengajak akal untuk mengabaikan Allah dan bersekutu dengan para penentang-Nya.
Jujur saya akui, dalam pertempuran-pertempuran itu saya lebih sering kalah. Hawa nafsu selalu bisa menaklukkan kekuatan akal dan ruhani saya, padahal keduanya sudah saya siapkan secara maksimal agar menang berlaga melawan hawa nafsu. Tapi apa lacur, hawa nafsu terlalu kuat mengikat kaki dan tangan saya sehingga saya tak bisa bergerak untuk taqarrub kepada Allah. Hawa nafsu terlalu gesit mengecoh pikiran saya sehingga saya sering gagal bertafakur dan bertadzakkur. Hawa nafsu pun terlalu bertenaga membekap lidah, pendengaran dan penglihatan saya sehingga saya cenderung melakukan segala hal yang menimbulkan mudharat. Seorang teman pernah berseloroh, "Haji Irwan, hawa nafsu atau syeitan punya ilmu menggoda yang selalu satu level di atas kadar keimanan kita." Itu sebabnya mereka selalu bisa mengecoh kita.
Ya Allah...Betapa meruginya aku.
Padahal Kau telah janjikan derajat ketakwaan yang tinggi dan pengampunan dosa yang lalu dan akan datang bagi mereka yang berpuasa karena -Mu.
Ya Allah... Ampunilah kelemahan imanku dan kerapuhan tubuhku.
Dan, ampunilah ketidakmampuanku mengalahkan godaan nafsuku.
Ya Rasulullah junjunganku....Aku malu kepadamu.
Aku sungguh malu kepadamu karena kegagalanku menjadikan puasa lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga.
Padahal engkau sudah menunjukkan teladan yang baik dan nasihat yang mencerahkan tentang keutamaan puasa bagi orang-orang beriman.
Soalnya sekarang, apakah yang bisa diharapkan dari seorang yang kualitas ibadahnya maksimal hanya bernilai nol koma?
Sejujurnya saya jawab, tidak ada! Posisi nol koma adalah satu keadaan dimana seseorang sebetulnya tidak punya kekuatan intelektual dan energi spiritual yang cukup untuk menciptakan kebaikan-kebaikan di muka bumi, entah itu kebaikan yang bersifat personal maupun kebaikan yang bersifat komunal. Singkatnya, saat ini saya powerless secara lahir dan bathin! Tak berdaya-guna secara fisik-material maupun mental-spiritual! Sahabatku, saksikan olehmu bahwa saat ini saya berada dalam posisi itu, posisi orang yang gagal membangun konstruksi yang kuat untuk menciptakan kesalehan individual yang sangat diperlukan untuk membangun sebuah kesalehan yang bersifat struktural, gagal memenangkan pertempuran demi pertempuran melawan hawa nafsu sehingga secara keseluruhannya saya menjadi mahluk yang hina di hadapan Allah Yang Maha Agung.
Ya Allah... Aku berlindung kepada-Mu dari semua keadaan buruk ini, suatu keadaan yang terjadi karena lemahnya iman, sedikitnya pengetahuan dan gampangnya terkecoh oleh godaan syeitan yang terkutuk.
Nabi SAW, para sahabat yang terkemuka, dan juga para awliya' pada masanya tampil sebagai manusia-manusia unggul di muka bumi ini: Maqamnya mulia di sisi Allah dan terhormat di pandangan manusia; Karena lisan beliau-beliau, hati manusia menjadi terbimbing dan selalu mengingat Allah; Karena keteladan beliau-beliau, manusia menjadi tahu bagaimana melakukan yang ma'ruf dengan cara yang benar; Karena sikap welas asih beliau-beliau, manusia menjadi tahu bagaimana menciptakan relasi sosial yang seimbang di tengah masyarakat yang majemuk; Karena sikap kasih sayang beliau, mereka yang tergolong fakir miskin, dhuafa dan mustadh'afin tidak menjadi hina hidup di tengah mereka yang kaya dan berpunya; Karena kegigihan beliau, syiar Islam tersebar hampir ke seluruh penjuru dunia; Semua ini adalah bukti nyata bahwa kesalehan individual dan kesalehan yang bersifat komunal hanya bisa diwujudkan oleh mereka yang memiliki kualitas sempurna, bukan oleh manusia berkualitas nol koma seperti saya.
Itulah sebabnya pada jam-jam terakhir menjelang Hari Kemenangan ini hati saya masygul, bathin saya gelisah. Tergambar jelas di mata saya buruknya amaliah dan centang-perenangnya ibadah saya kepada Allah. Sedemikian buruknya sampai-sampai saya malu untuk bergembira besok pagi ketika takbir berkumandang di menara-menara masjid untuk mengagungkan nama-Nya.
"Ya Allah... Ampunilah segala dosa dan kesalahanku
Dosa yang bisa meruntuhkan penjagaan
Dosa yang bisa mendatangkan bencana
Dosa yang bisa menurunkan siksa
Dosa yang bisa menahan doa-doa
Dosa yang bisa merusak karunia
Dan, dosa yang bisa memutuskan harapan
Ya Allah... sampaikanlah usiaku pada ramadhan tahun berikutnya
Agar Aku bisa memperbaiki amaliahku yang buruk pada ramadhan tahun ini
Agar aku bisa menyempurnakan ibadahku yang rusak pada ramadhan tahun ini
Ya Allah... kasihanilah aku yang hartanya hanya harapan dan senjatanya hanya tangisan. Kabulkanlah doa-doaku"
Catatan BA
Aku, Manusia Kualitas Nol Koma...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar