Karena Burung Hud-Hud, Maka Selamatlah Si Tambun... Bagikan



"Singkat cerita, tiga-puluh ekor burung yang dipimpin burung Hud-hud tiba dengan selamat di tujuannya, Gunung Kaf. Di gunung itu berdiri istana megah sang Raja yang paling dirindukan dan dicintai: Raja Simurgh," kata seorang penceramah menutup tausiyahnya malam itu.

Jam di dinding masjid menunjukkan pukul 9 malam. Seorang demi seorang jamaah sholat taraweh mulai meninggalkan masjid. Namun si anak muda berbadan tambun itu tak hendak beringsut dari duduknya. Seperti hari sebelumnya, dia terlihat asyik bersandar di dinding masjid yang dingin sambil meneguk air mineral langsung dari botolnya. Dia masih teringat dengan keseluruhan cerita fabel yang disampaikan oleh sang penceramah tadi, cerita yang secara keseluruhannya dikutip dari kitab Manthiq at-Thair karya sufi besar Syekh Fariduddin Aththar. Cerita itu sangat menyentuh hatinya karena di balik cerita yang diperankan oleh burung Hud-hud, burung Nuri, burung Merak dan burung Bul-bul terkandung pesan spiritual yang sangat tinggi.

"Hmmm...saya baru mengerti, jadi tibanya rombongan tiga-puluh ekor burung itu di istana Gunung Kaf adalah akhir dari sebuah perjalanan panjang ratusan burung yang ingin menjumpai Raja Simurgh di istananya," gumam anak muda itu dalam hati.

Dikisahkan sebelumnya, dalam perjalanan ribuan mil itu rombongan yang dipimpin burung Hud-hud telah melewati tujuh kota Cinta yang masing-masingnya dipisahkan oleh lembah yang dalam, jurang yang terjal, pegunungan yang menjulang dan samudera serta gurun pasir yang maha luas. Perjalanan itu makin terasa berat dan penuh bahaya karena mereka juga harus menembus cuaca yang sesekali dingin membeku dan pada kali yang lain terasa sangat panas menyengat. Sebagai pemimpin rombongan, burung Hud-hud merasa bersyukur karena sebelum perjalanan dimulai dirinya sudah mengingatkan betapa berat dan berbahayanya perjalanan tersebut. Hud-hud pun sudah menceritakan bahwa selama dalam perjalanan mereka juga akan menemukan banyak tempat yang indah dan mempesona. Itulah sebabnya Hud-hud merasa tidak dibebani rasa bersalah manakala dalam perjalanan tersebut ada sebagian burung yang mati karena kepanasan atau kedinginan; sebagian lagi tenggelam di laut; sebagian lainnya kelelahan dan tidak sanggup melanjutkan perjalanan; sebagian lainnya memang tidak ingin meneruskan perjalanan karena merasa terpesona dengan keindahan negeri-negeri yang mereka lalui dan mereka putuskan untuk tinggal disana; dan sebagiannya lagi tersesat dalam perjalanan.

Pada saat pikiran anak muda berbadan tambun itu sedang mengingat-ingat kembali isi ceramah yang barusan didengarnya, bapak tua yang kemarin malam dijumpainya di masjid itu menghampirinya. "Malam ini adik mau i'tikaf lagi disini?" tanya bapak tua itu seraya duduk di sebelahnya. Dengan jawaban sekenanya si anak muda menjawab, "Insya Allah pak." Sambil mengurut-urut kakinya, si bapak itu menggerutu, "Aneh rasanya mendengar ceramah agama tapi topiknya tentang burung-burung; burung Hud-hudlah, burung Meraklah, dan burung apa lagi itu. Kayak gak ada kisah lain yang lebih berbobot untuk diceritakan." Lantaran merasa tidak wajib menimpali gerutu si bapak, anak muda berbadan tambun itu hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Berbeda pendapat dengan si bapak tua yang menggerutu tadi, si anak muda berbadan tambun justru merasa tertarik dengan pesan yang tersembunyi di balik kisah perjalanan burung Hud-hud dan kawan-kawannya ke istana Raja Simurgh. Paling tidak ada dua pesan penting yang bisa dipetiknya: Pertama, perjalanan menuju Tuhan adalah perjuangan yang sangat berat bagi mereka yang malas, sangat berbahaya bagi mereka yang sembrono dan tak berilmu, sangat melelahkan bagi mereka yang lemah, dan sarat dengan godaan bagi mereka yang imannya rapuh. Burung Hud-hud telah menjadi saksi ketika burung-burung yang malas, sembrono dan tak berilmu serta lemah gagal sampai di tujuannya dan mati sia-sia di tengah perjalanan. Sementara yang imannya rapuh mudah tergoda oleh keindahan negeri-negeri yang dilaluinya sehingga membuat mereka abai dengan tujuannya semula;

Kedua, perjalanan menuju Tuhan sejatinya dapat dimulai dari ikhtiar mengenali diri sendiri sebagaimana sabda Nabi SAW, "Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya." Pesan ini disampaikan secara elok oleh Syekh Fariduddin Aththar pada bagian penutup kisah burung Hud-hud. Dikisahkan begini: ketika pada akhirnya rombongan burung Hud-hud tiba di istana Raja Simurgh dan masuk ke bagian dalam istana yang megah itu, alih-alih bertemu dengan Raja Simurgh, yang justru mereka temui di dalam istana adalah diri mereka sendiri, citra diri mereka sendiri, yang terpantul dari cermin yang menutup hampir seluruh dinding istana.

"Iya..iya..saya faham sekarang! Saya faham!" gumam si anak muda itu, kali ini sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi sekonyong-konyong dirinya mulai ragu untuk melanjutkan niatnya beri'tikaf malam itu. Pasalnya, dia merasa i'tikaf yang dilakukannya pada malam-malam bulan Ramadhan tidak didasari oleh niat yang benar, niat yang sejatinya harus dijadikan motif satu-satunya dalam semua peribadatan dalam Islam. Contohnya i'tikaf yang dilakukannya dua malam lalu di masjid ini, yang diniatkan semata-mata agar memperoleh laylatul qadar. Padahal mestinya i'tikaf itu dilakukan semata-mata karena Allah SWT, bukan karena sesuatu selain Dia atau mengharapkan sesuatu selain Dia --meskipun sesuatu itu adalah laylatul qadar yang digambarkan dalam al-Qur'an sebagai khoyrun min 'alfi sahrin (malam yang lebih baik daripada 1000 bulan).

"Astaghfirullah...tampaknya saya sudah melakukan sebuah kesalahan besar," katanya dalam hati. Seketika si anak muda berbadan tambun itu dirundung kesedihan tiada tara karena menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya. Dia merasa dirinya tak ubahnya seperti burung-burung yang mengabaikan tujuan utamanya bertemu dengan Raja Simurgh lantaran terpesona kepada keindahan negeri-negeri yang dilaluinya dan memutuskan untuk menetap disana. Dia merasa telah diperdayai oleh nafsunya sendiri sehingga orientasinya kepada Allah tergantikan oleh orientasi kepada sesuatu selain Allah. "Harusnya keramat laylatul qadar tidak membuat saya berpaling dari Allah. Bodoh sekali saya! Kenapa saya harus beribadat untuk memperoleh sesuatu yang tak bernilai apapun bila dibandingkan dengan Dzat Allah? Bodoh sekali saya!" sesalnya.

Sebodoh-bodohnya burung adalah mereka yang telah menukar kesempatannya bertemu Raja Simurgh di istananya yang maha megah di Gunung Kaf dengan bermukim di sebuah tempat yang keindahannya ribuan kali lebih buruk dibandingkan taman istana Raja Simurgh.

Malam sudah semakin larut. Si anak muda berbadan tambun itu terlihat sedang bersiap untuk melakukan i'tikaf. Namun, jauh di dalam hatinya dia bertekad tidak mau melakukan kebodohan layaknya burung-burung yang telah menukar kesempatan bertemu Raja Simurgh di istananya yang maha megah dengan bermukim di sebuah negeri yang keindahannya pasti tidak sebanding dengan keindahan taman istana Raja Simurgh.

Subhanallah... Malam itu, di antara burung-burung yang tidak beruntung, si anak muda berbadan tambun itu beri'tikaf: berdzikir dan mendirikan qiyamul-lail layaknya burung Hud-hud yang diberkati dan selalu dalam bimbingan Allah Azza wa Jalla. Tatkala kedua tangan si anak muda berbadan tambun itu bertakbiratul ihram, kalbunya hadir di hadapan Allah Yang Maha Kudus, obsesinya terhadap laylatul qadar menguap laksana asap yang ditiup angin. Dia berdiri dalam suatu dimensi ruang dan waktu dimana di dalamnya hanya ada dirinya yg berbadan tambun dan Allah, Dzat Yang Maha Indah dan Mempesona.

"Ilahi, Anta maksudiy wa ridhoka mathlubiy, ahabbataka wa ma'rifataka" (Ilahi, Engkaulah tujuan dari semua peribadatanku dan hanya ridho-Mu yang kukehendaki. Anugerahkanlah kepadaku rasa cinta hanya kepada-Mu dan jalan menuju singgasana-Mu)

Sebuah catatan Dari Bang Awing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar