Mbok Salamah, Aku Iri....




Kalau bukan karena ingin memperoleh Kebajikan yang Allah janjikan, hal yang musykil Mbok Salamah rela menjual satu-satunya kain batik kesayangannya.

"Kain ini pemberian almarhum kakekmu 20 tahun lalu sebelum dia meninggal dunia. Besok kain ini mau si mbok jual ke pasar," ujar Mbok Salamah kepada tiga orang cucunya yang masih kecil-kecil pada suatu malam. "Kenapa dijual mbok?" tanya salah seorang cucunya. "Itukan satu-satunya kain batik yang bagus yang mbok punya," sergah yang satunya lagi.

Alih-alih menjawab celotehan cucunya, Mbok Salamah yang sejak tadi mengelus-elus kain batik itu --dan sesekali menciumnya-- malah tersenyum. Tangannya yang sudah keriput mulai membungkus kain batik kesayangannya itu dengan kertas koran bekas. Masih terngiang-ngiang di telinganya si mbok, firman Allah yang dibacakan oleh penceramah waktu rehat sholat taraweh tadi di masjid: Lan tanalul-birro hatta tunfiquw mimma tuhibbun (Kamu belum memperoleh kebajikan sebelum kamu menginfaqkan sebagian dari harta yang paling kamu cintai). "Moga-moga Gusti Allah senang dengan apa yang besok si mbok lakukan," harapnya dalam hati.

Matahari belum terlalu tinggi ketika Mbok Salamah meninggalkan gubuknya yang reot sambil menarik gerobak. Gerobak? Iya, gerobak! Mbok Salamah sehari-hari memang bekerja sebagai pemulung, suatu pekerjaan yang digelutinya sejak mendiang suaminya meninggal dunia dan putri semata-wayangnya mati ditabrak kereta dan meninggalkan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Puasa tak menghalangi Mbok Salamah untuk terus menyusuri jalan-jalan kampung yang sempit untuk mencari dan mengumpulkan barang-barang bekas yang kira-kira masih laku dijual kepada tukang loak.

Matahari sudah hampir di atas kepala ketika Mbok Salamah memarkir gerobaknya di sudut pasar Jatinegara. Dengan wajah sumringah, bungkusan koran berisi kain batik kesayangannya dikepit di ketiaknya. Mbok Salamah tenggelam dalam hiruk-pikuk pasar di tengah hari bolong. Kain batik kesayangannya yang merupakan satu-satunya kenangan yang masih tersisa dari kehidupan masa lalunya dengan suaminya telah berpindah tangan. Menjelang ashar Mbok Salamah sudah tiba kembali di gubuknya. Uang hasil penjualan kain sudah habis dibelikan beberapa kilogram kacang hijau, kelapa dan gula merah. Ditemani oleh ketiga orang cucunya, Mbok Salamah mencuci kacang hijau, memarut kelapa dan memasaknya hingga menjadi bubur.

Lan tanalul-birro hatta tunfiquw mimma tuhibbun... Firman Allah itu kembali terngiang-ngiang di telinga Mbok Salamah. Sekonyong-konyong wajah Mbok Salamah berseri-seri. Air mukanya memantulkan kebahagiaan dan rasa suka-cita yang membuncah hebat di hatinya. Mbok Salamah pantas berbahagia dan bersuka-cita karena dirinya baru saja memulai langkah awal menuju Kebajikan yang dijanjikan oleh Allah SWT.

Bedug magrib sudah hampir tiba. Bubur kacang hijau yang dimasak Mbok Salamah sudah tersaji di dalam mangkuk-mangkuk kecil yang dijejer rapih di hadapan jamaah yang ingin berbuka puasa di masjid yang terletak tak jauh dari gubuknya. "Wahai Gusti Allah... panjangkan usiaku, paling tidak sampai aku menyaksikan rezekiku yang sedikit berubah menjadi kebajikan yang besar di sisi-Mu," pinta si Mbok Salamah dalam hati.

Tak lama berselang azan berkumandang. Bubur kacang hijau yang dibeli dari hasil penjualan kain batik kesayangan Mbok Salamah disantap habis sebagai takjil oleh para jamaah yang kebanyakannya adalah orang-orang dhuafa' dan fakir miskin yang tinggal di sekitar masjid. Si mbok tersenyum penuh rasa syukur menyaksikan bubur kacang hijau pemberiannya telah menjadi bagian dari rezeki yang dinikmati oleh orang lain hari itu. "Alhamdulillah...Alhamdulillah Ya Allah," puji si mbok, kali ini dengan suara nyaris tersengal lantaran haru. Si mbok bersyukur, bahkan sangat bersyukur karena Allah telah menguatkan hatinya sehingga mampu mengubah rezeki miliknya yang sedikit menjadi Kebajikan yang tak terkira nilainya.

Subhanallah.... Mbok Salamah, aku iri...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar