Catatan BA :Alkisah, pada suatu pagi Kyai Mursyid memanggil tiga orang santri kesayangannya: Rumi, Mawla dan Abyan. Ketiganya dipanggil untuk mengikuti ujian kenaikan kelas tingkat akhir di pesantren itu. "Barangsiapa yang lulus ujian ini akan saya izinkan untuk mengajar di pesantren," kata Kyai Mursyid. Mendengar penjelasan sang kyai, ketiga santri itu senang bukan kepalang. Tapi seketika perasaan cemas menyeriap lantaran ada semacam kekuatiran tak lulus dari ujian sang kyai.
Lalu Kyai Mursyid mengajak ketiga santrinya ke belakang rumahnya. Di sana beliau memberikan kepada ketiga santrinya masing-masing seekor burung merpati dan sebilah pisau. "Mohon maaf kyai, apa yang harus kami lakukan dengan burung dan pisau ini," tanya Rumi kebingungan. Begini, kata Kyai Mursyid, pergilah kalian membawa burung dan pisau itu. Berpencarlah dan carilah tempat yang paling tersembunyi, sedemikian tersembunyinya sampai-sampai tak ada yang bisa melihat apa yang kalian lakukan disana. Kemudian sembelihlah burung itu dan cepat kembali kesini. "Siapa yang paling cepat datang menghadapku setelah melaksanakan perintahku, maka dialah yang kunyatakan lulus ujian ini," kata Kyai Mursyid. Setelah diizinkan untuk pergi, maka ketiganyapun berpencar: Rumi ke selatan, Mawla ke timur, dan Abyan ke utara.
Matahari telah tinggi ketika Kyai Mursyid baru saja turun dari sajadahnya. Di tengoknya serambi rumahnya yang sederhana, di mana disitu hanya terdapat sebuah balai beralaskan tikar pandan. Tapi tak ada seorangpun dari ketiga santrinya itu yang nampak. "Kemana mereka? Kenapa belum ada yang kembali pulang" tanya kyai dalam hati.
Tak lama berselang, terdengar suara salam di pintu depan rumah Kyai Mursyid. "Kalau tidak salah, itu suara Mawla," gumam kyai di dalam hati. Sambil membuka pintu rumahnya sang kyai menjawab salam itu. Ternyata betul, Mawla yang datang. Wajahnya sumringah. Tapi tangannya berlumuran darah. "Apa yang telah engkau lakukan Mawla?" tanya sang kyai. "Saya sudah melaksanakan tugas yang diberikan kyai," jawabnya. "Ceritakan kepadaku bagaimana engkau melaksanakannya!" tukas sang kyai.
Mawla bercerita: setelah berpencar dari Rumi dan Abyan, dirinya pergi ke utara sampai ke bibir pantai yang sepi. Disana dirinya menemukan sebuah gua yang letaknya sangat tersembunyi. Pintu gua itu menghadap ke laut sehingga sangat sedikit orang yang tahu keberadaannya. Sesampainya di dalam gua, dirinya memastikan lagi bahwa disana tidak ada orang lain selain dirinya. Setelah yakin seyakin-yakinnya bahwa dirinya telah tersembunyi dari pandangan mata manusia, maka Mawla menyembelih burung merpati itu dan bangkainya serta pisaunya ditinggal di dalam gua. "Darah di tanganku ini adalah bukti bahwa saya sudah melaksanakan perintah kyai," tutur Mawla. Mendengar penuturan Mawla, sang kyai berujar sambil menghela nafas panjang, "Mawla, engkau merasa sudah menjalankan perintahku. Padahal sesungguhnya engkau tidak menjalankannya dengan benar." Singkat kata, Mawla tidak lulus ujian.
Langit hampir gelap ketika Abyan dengan wajah yang sangat letih tiba di serambi rumah Kyai Mursyid. Sambil menyerahkan burung merpati yang sudah disembelih dan pisau yang berlumuran darah, Abyan dengan penuh takzim melaporkan bahwa dirinya sudah melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh sang kyai. Katanya, dirinya pergi ke utara menembus hutan rimba yang sangat padat pepohonannya. Disana dia menemukan sebuah gubuk kayu yang biasa dipakai tempat istirahat oleh para pencari kayu bakar dan penyadap pohon aren. Gubuk itu sudah lama tidak dipakai, persisnya sejak seorang pencari kayu ditemukan mati disitu dengan tubuh tercabik-cabik lantaran diterkam macan. "Di dalam gubuk itulah saya sembelih merpati ini," kata Abyan. Kyai Mursyid lagi-lagi menghela nafas panjang. Beliau tidak banyak berkomentar kecuali memberitahu Abyan bahwa dirinya tidak lulus ujian ini. Ada semacam kekecewaan yang sulit disembunyikan dari wajah Kyai Mursyid yang putih bersih lantaran sudah dua orang muridnya yang gagal melalui ujian ini.
Bagaimana halnya dengan santri yang satunya lagi, Rumi?
Pengurus masjid di pesantren baru saja mematikan lampu bagian dalam masjid. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Tapi belum ada tanda-tanda Rumi akan pulang malam itu. Kyai Mursyid mulai was-was memikirkan keadaan muridnya yang satu itu. Sayup-sayup terdengar suara santri yang mengaji di biliknya. Sebagiannya lagi, terutama santri-santri yang sudah terbilang remaja, masih mengikuti taklim di beberapa pondokan yang berada di lingkungan dalam pesantren.
Jam dinding rumah Kyai Mursyid menunjukkan pukul 11 malam ketika pintu depan terdengar ada yang mengetuk. Kyai Mursyid yang masih terjaga membukakan pintu. "Alhamdulillah, akhirnya engkau datang juga," ucap kyai penuh syukur melihat orang yang berdiri di depan pintunya. "Assalamu 'alaikum kyai," kata Rumi sambil mencium tangan kyai yang sangat dihormatinya itu. Setelah menjawab salam, Kyai Mursyid mempersilakan Rumi yang memegang merpati yang masih hidup dan sebilah pisau duduk di balai beralas tikar pandan yang biasanya dipakai oleh pak kyai untuk bersantai.
"Kenapa engkau baru pulang, sementara dua temanmu sudah kembali sejak tadi siang, Dan, apa yang terjadi sehingga burung itu belum kau sembelih?" tanya Kyai. "Maafkan saya, kyai. Demi Allah, saya sudah berikhtiar untuk melaksanakan perintah kyai," jawab Rumi. Tapi, tambahnya, sejauh-jauhnya saya berjalan ke selatan, hingga masuk ke hutan larangan dan naik ke gunung di ujung desa sana, saya tetap tidak menemukan satu tempat pun yang membuat saya merasa tersembunyi di mana disitu saya bisa menyembelih burung ini. Sebetulnya banyak tempat di gunung yang tersembunyi dari pandangan mata manusia, tapi saya merasa tetap tidak bisa bersembunyi dari penglihatan Allah. "Kemana saja saya bersembunyi, saya merasa yakin Allah melihat saya dan tahu apapun yang saya kerjakan. Itulah sebabnya saya tidak bisa menyembelih burung ini," tutur Rumi. Mendengar penuturan Rumi, Kyai Mursyid tersenyum bangga. Dan, dengan perasaan penuh suka-cita Kyai Mursyid memutuskan bahwa Rumi lulus dari ujiannya dan sejak itu berhak untuk mengajar di pesantrennya.
Sahabat-sahabatku, tulisan ini seyogyanya menjadi cermin bagi kita, pelajaran bagi kita, agar dalam kehidupan sehari-hari senantiasa menyadari bahwa seluruh tindakan dan gerakan hati kita tidak pernah luput dari penglihatan Allah SWT, Dzat yang Maha Luas dan Maha Mengetahui. Innallaha waasi'un alima....
Semoga bermanfaat.
Gusti Allah, Engkau Selalu Melihatku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar